Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci Menuju Masyarakat Industri

Sudah sejak lama orang meyakini bahwa kunci utama bagi kemajuan sebuah bangsa adalah pendidikan, seperti keyakinan bangsa Eropa sejak era pencerahan, Jepang menjelang restorasi Meiji, dan menyusul kemudian Tiongkok pasca revolusi kebudayaan. Dunia kemudian menyaksikan, bahwa ketiga bangsa itu tampil sebagai pionir peradaban manusia dan menjadi subyek aktif yang menentukan arah perkembangan dunia. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh melalui proses pendidikan, bangsa Eropa sejak abad 15 kemudian tampil menguasai dunia, menyebar ke berbagai wilayah sebagai konsekuensi logis atas perubahan masyarakatnya yang industrial. Secara kronologis bangsa Eropa meraih peran sejarahnya itu diawali oleh lahirnya era pencerahan, penguasaan ilmu pengetahuan alam, penguasaan teknologi, paham kapitalisme liberal, revolusi industri, dan kemudian tampil sebagai bangsa ekspansif, buka Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si. Sosiolog UNY sekaligus pembicara Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan UNY.

Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sejak merdeka kita bangsa Indonesia terus berusaha bertekad menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Berbagai konsep pembangunan telah diterapkan agar mampu menjadi bangsa maju dan tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang diperhitungkan dunia. Baik era pemerintahan Soekarno, pemerintahan Soeharto, dan kemudian pasca Orde Baru, bangsa ini terus berusaha berubah ke arah masyarakat industri. Untuk menuju ke arah itu, Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin, Soeharto menggunakan otoritarianisme dan pembangunanisme, dan kemudian pasca Orde Baru menggunakan sosialisme demokrasi. Akan tetapi sebegitu jauh, bangsa ini dapat dikatakan gagal menjadi masyarakat industri yang bertumpu pada kekuatan sendiri. Salah satu indikator makro yang nyata adalah, bahwa sebagai bangsa berkultur agraris, tetapi beras, kedelai, jagung, dan bawang masih impor. Bahkan, sebagai negara kepulauan yang memiliki pantai terpanjang di dunia, tetapi garam saja impor. Keyakinan pun juga impor dari India dan Timur Tengah.

Berkaca pada sejarah perkembangan bangsa Eropa, kemudian menengok sejarah pendidikan kita sepertinya memang jauh berbeda, dan bahkan berlangsung sebaliknya. Sejak era kolonial, jelas sistem pendidikan dirancang untuk elite kolonial, sementara kita sebagai bangsa terjajah hanya dijadikan sebagai obyek. Sistem pendidikan diperuntukan hanya untuk elite, dan dirancang untuk memapankan struktur sosial yang tidak adil, dengan bangsa Indonesia tetap sebagai obyek pasif, dan bahkan harus ditindas baik secara fisik maupun struktur kognisinya. Di dalam situasi ketertundukan total itu, maka pada era kolonial itu bangsa Nusantara benar-benar tidak punya sejarah, dalam arti sebagai subyek aktif dalam dinamika perkembangan peradaban manusia, tambah Sugeng Bayu.

Salah satu implikasi paling berat praktik pendidikan era kolonial itu adalah terbentuk dan terpatrinya mentalitas sebagai bangsa terjajah yang terus tesedimentasi dalam struktur kognisinya. Memang dalam beberapa kasus melahirkan generasi kritis, yang kemudian melahirkan para pendiri bangsa yang menjadi agen utama menuju Indonesia merdeka. Akan tetapi secara keseluruhan, bangsa ini tetap belum bisa ke luar dari mentalitas sebagai bangsa terjajah, tutup Sugeng lagi.

Dalam laporannya, Dekan FIP UNY, Dr. Haryanto, M.Pd. menyatakan bahwa tema “Pendidikan Bermakna untuk semua” Tema ini sengaja diusung atas keprihatinan kita terhadap praksis pendidikan yang selama ini sepertinya tidak berdampak pada kemandirian dan kedaulatan bangsa sebagai akibat dari penerapan sistem pendidikan yang kurang bermakna. Pendidikan kita tidak membekali siswa bagaimana menghadapi kehidupan nyata di masyarakat, sehingga menyebabkan mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan, kecuali belajar dari buku, bersenang-senang ala kehidupan anak kota dan setelah lulus ingin meneruskan sekolah atau mencari pekerjaan dengan bekal selembar ijazah.

Kurikulum yang dirancang hanya mengedepankan tranformasi pengetahuan, dan tidak seimbang dalam meningkatkan harkat manusia. Jika kurikulum semacam itu diterapkan maka percuma dan tak bermakna. Kecakapan hidup adalah solusi dasar, karena pendidikan selalu berujung pada nilai-nilai hakiki kemanusiaan. Untuk mewujudkannya diperlukan adanya paedagogik transformatif, yaitu paedagogik dengan akar paedagogik kritis dalam wujud ramuan kebudayaan. Paedagogi ini, dengan sendirinya, bergerak pada tataran praksis, yaitu praktik pendidikan di lapangan. Oleh karena pendidikan tidak mungkin di awang-awang, maka dunia praksis menjadi amat penting.

Hal ini diamini pula oleh Rektor UNY, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. yang menyatakan bahwa daya saing bangsa ini memang sedang diuji. Terlebih pada lingkup internal UNY yang memang masih membutuhkan Doktor dan Guru Besar. Sutrisna mengedepankan pendidikan yang lebih terarah dengan mendorong para dosen untuk bisa mengambil jenjang yang lebih tinggi lagi. Sutrisna juga menekankan partisipasi para dosen dalam penulisan artikel yang terindex Google Scholar, EBSCO, Scopus maupun Thomson Reuters. Tak lupa Sutrisna juga menginginkan agar peringkat Webometric situs UNY bisa mendapatkan peringkat yang lebih baik lagi. (ant)