Diskusi dan Curah Pendapat Pancasila dan Pendidikan Bermakna di FIP UNY.

Institusi pendidikan perlu terus mengupayakan produksi wacana Pancasila dalam proses pendidikan bermakna di sekolah, sehingga wacana Pancasila terus menjadi sumber inspirasi utama mencari solusi berbagai masalah strategis guna meningkatkan daya tawar peradaban bangsa, bukan dari sumber ideologi lain. Begitu salah satu kesepakatan pada diskusi bertajuk “Pancasila, Pendidikan Bermakna, dan Meningkatkan Daya Tawar Peradaban Bangsa di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta pada hari Jumat (11/8) di Ruang Sidang I FIP UNY.

Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah nara sumber antara lain Prof.Dr.Abdul Munir Mulkhan, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Prof. Suyanto, Ph.D, Fajar Sudarwo, Halili, S.Pd., M.A dan Bambang Sigap Sumantri. “Wacana inklusivitas Pancasila perlu terus dijaga kontinyuitasnya dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah sebagai perimbangan wacana agama yang mengedepankan eksklusivitas. Bukan berarti dalam konteks pertarungan wacana, melainkan justru menjaganya agar tidak terjadi wacana tunggal eksklusif yang menjurus pada radikalisme paham agama”, ungkap Munir Mulkhan dalam pembukaanya.

Selama dua dekade ini wacana eksklusivitas agama terus menguat di kampus-kampus karena berusaha menjadikan sebagai wacana alternatif dalam melawan dominasi wacana pengetahuan Barat yang dianggap meminggirkan Islam. Pada saat bersamaan wacana Pancasila mengalami surut karena tidak banyak sumber-sumber pembelajaran yang menyinggung Pancasila baik dalam kurikulum maupun ekstra kurikulum. Jika kecenderungan ini dibiarkan, tidak heran jika generasi ke depan bangsa ini tidak kenal Pancasila, sehingga mengancam NKRI. “Wacana keagamaan dan Pancasila perlu terus terjagai secara seimbang, sehingga pendidikan akan melahirkan generasi yang saleh tetapi pancasilais”, jelas Mulkhan dalam acara yang dihadiri oleh seluruh Kajur FIP UNY.

Menyinggung surutnya wacana Pancasila dalam institusi pendidikan, Suyanto, mantan Dirjen Dikdasmen, menjelaskan bahwa ketika menyusun Undang-undang Sisdiknas ada latarbelakang kekhawatiran tafsir Pancasila itu sendiri menjadi tunggal sebagaimana era Orde Baru. “Saat itu atmosfir politiknya diliputi oleh euforia reformasi yang anti Orde Baru, sehingga Pancasila tidak perlu disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang Sisdiknas. Lebih dari itu intensif dan masifnya Pancasila pada era Orde Baru juga tidak diimbangi oleh kesejahteraan rakyat. “Jadi yang penting, kalau bicara Pancasila itu harus bagaimana mensejahterakan rakyat. Sekarang ini meskipun Pancasila akan digalakan lagi, tetapi jika tidak diimbangi oleh kesejahteraan rakyat, ya percuma saja”, kata Suyanto.

Suara senada juga datang dari Fajar Sudarwo, aktivis pemberdayaan masyarakat desa ini mengingatkan, bahwa pasangnya wacana Pancasila akhir-akhir ini jangan sampai mengulang kesalahan pada masa lalu, ketika Pancasila hanya dijadikan sebagai alat untuk menggebuk rakyat. Dibentuknya UKP Pembinaan Pancasila oleh pemerintah belakangan ini memang bisa dipahami, akan tetapi jangan sampai terjadi tafsir tunggal lagi dari pemerintah saja yang berlangsung mengarus deras ke bawah. “Pancasila juga harus terbuka bagi tafsir dari bawah, yaitu dari rakyat sendiri sesuai dengan konteks sosio-kulturalnya masing-masing. Kalau pemerintah memaksakan tafsir tunggal terhadap Pancasila lagi, maka pemerintah akan menanggung malu lagi, karena sangat mungkin Pancasila justru dilupakan oleh rakyat”, tegasnya.

Sedangkan Halili, dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY berpendapat bahwa bicara tentang Pancasila terkait erat dengan persoalan bagaimana pengindonesiaan. Oleh karena itu kontens keindonesiaan dalam pendidikan kita sangat perlu terus dikembangkan dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Kekosongan kontens keindonesiaan, dan bersamaan dengan itu demokrasi di Indonesia mengalami kedodoran, juga bisa dimanfaatkan oleh wacana keagamaan yang kurang berorientasi pada keindonesiaan. “Persoalan utama mengangkat kembali Pancasila adalah persoalan membangun masyarakat kewargaan yang melampau identitas primordial. Harus diingat bahwa sekarang ini identitas primordial mulai menguat mengikuti derajat kepublikan. Semakin masuk ke ranah publik, maka kekentalan identitas keagamaan semakin menguat. Ini ke depan menjadi ancaman dalam upaya membangun masyarakat kewargaan dengan rujukan utama Pancasila”, ungkapnya.

Menguatnya identitas primordialistik itu menurut Bambang Sigap Sumantri adalah kenyataan yang bisa mengancam Pancasila dan NKRI, dan karena itu Indonesia kiamat. Marwah kepancasilaan bangsa ini terancam oleh gerakan-gerakan yang memang akan menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara. Sekali-kali juga perlu kumpul bareng di alun-alun dalam jumlah besar untuk menunjukkan komitmen bersama menjaga marwah Pancasila melawan musuh bersama. “Kita tidak mungkin meningkatkan daya tawar peradaban bangsa, jika terus dilanda oleh gerakan yang menjurus upaya menghilangkan orientasi keindonesiaan”, tegasnya.

Sementara itu Suminto A. Sayuti, dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNY berpendapat bahwa Pancasila dan pendidikan bermakna bertemu urgensinya dalam upaya meningkatkan daya tawar peradaban bangsa melalui pendidikan berbasis budaya di tengah arus globalisasi. Globalisasi pada masa sekarang ini mau tidak mau merupakan sebuah keniscayaan yang mau tidak mau harus dihadapi. Di dalamnya, tersedia ruang yang begitu luas bagi siapa pun untuk mengkonstruksi indentitas. “Dalam kaitan ini, nation and character building menjadi mutlak adanya demi kelangsungan hidup bangsa. Pancasila harus menjadi sumber upya tanpa henti menggali, menemukan, membangun secara terus-menerus nilai budaya bangsa”, tambah Suminto. (bay/ant)