Pendidikan Bermakna Dan Kebudayaan Konstrutivistik Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Tawar Peradaban Bangsa

Senin (14/8) Saat ini situasi pendidikan kita yang dari ke hari menghadapi tantangan baru. Bukan hanya masalah ketimpangan pendidikan yang telah menjadi fenomena historis, tetapi juga persoalan bagaimana pendidikan dapat berjalan seiring dengan perubahan sejarah, bahkan pendidikan yang mampu mendorong lahirnya suatu sejarah masa depan. Dalam sejarah tercatat bahwa pada saat perguruan tinggi pertama dibuka tahun 1920 di Bandung (Technische Hogeschool), dari 28 mahasiswa, terdapat 22 orang Belanda, 4 Cina dan 2 pribumi. Tahun 1923/24 sekolah ini meluluskan 11 orang tetapi tidak ada satu orang pun pribumi, baru kemudian pada tahun periode 1925/26 ada orang Indonesia lulus yang salah satu di antaranya adalah Ir. Soekarno (Presiden Pertama Indonesia), buka Prof. Dr. Irwan Abdullah, Dosen Antropologi UGM dalam Orasi Ilmiah Upacara Puncak Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Pendidikan dengan tema “Pendidikan Bermakna Dan Kebudayaan Konstrutivistik Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Tawar Peradaban Bangsa”.

Pendidikan pada masa itu digunakan untuk mempertahankan status sosial dan perbedaan. Sekolah untuk anak pribumi sangat lambat dibangun di Indonesia oleh Belanda. Pada tahun itu (1930), hanya 91 orang Indonesia yang berstatus sebagai mahasiswa dan pada tahun 1940 menjadi 167 orang atau hanya 3 orang per sejuta penduduk. Pada saat itu yang bisa bersekolah pun hanya kelompok priyayi, penduduk biasa belum mampu karena untuk mencapai tingkat sekolah menengah masih sangat mahal bagi orang biasa.

Selain masalah ketimpangan yang masih berlanjut hingga saat ini yang ditandai dengan ketimpangan dalam kualitas dan aksesibilitas, dunia pendidikan berhadapan dengan perubahan tantangan jaman yang selain menuntut suatu kompetensi yang berbeda, juga meminta penyesuaian model pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan jaman: dinamis dan terbuka. Pendidikan sebagai proses “transfer of knowledge” memuat asumsi bahwa pengetahuan itu berada pada pihak tertentu yang mengabaikan kenyataan tentang pengetahuan yang menyebar pada para pihak.

Perubahan karakter pendidikan dari melayani kepentingan negara bergeser ke kepentingan pasar merupakan kerangka penting yang memposisikan pendidikan bukan sebagai bagian dari proses belajar bersama dengan menggali potensi lokal-kultural dengan karakter yang khas, tetapi lembaga pendidikan menjadi lembaga yang bersifat universal yang digerakkan oleh kurikulum global dan menjawab tantangan-tantangan global.

“Semakin hari di Indonesia semakin tampak pendidikan itu bersifat konstruktivistik yang mengasumsikan bahwa pengetahuan dapat dibangun oleh banyak pihak melalui pengalaman mereka. Pendidikan konstruktivistik merupakan praktik pembelajaran yang bersandar pada interaksi yang membawa pengalaman bersama ke dalam suatu bangunan yang disebut pengetahuan.” Tambah Irwan lagi.

Pendidikan konstruktivistik ditandai dengan tiga ciri penting. Pertama, sifat dari pendidikan yang lebih terbuka tidak hanya dengan melibatkan guru dan murid sekaligus tetapi juga terbuka atas berbagai perspektif ruang yang menyebabkan pendidikan lebih bersifat multikultural karena perbedaan masing-masing pihak berdasarkan karakternya yang unik dapat diakomodasikan dalam proses belajar mengajar. Irwan menambahkan point kedua yaitu, pendidikan konstruktivistik memberikan tekanan pada proses di mana ilmu pengetahuan merupakan suatu yang dicari bukan diterima. “Kemudian, pendidikan konstruktivistik memungkinkan adanya suatu refleksi dan interpretasi yang akan melahirkan tdk hanya kesadaran kritis terhadap realitas tetapi juga melahirkan komitmen besar anak didik terhadap proses transformasi masyarakat akibat kesadaran tentang pengetahuan yg dinamis dan mereka menjadi bagian dari proses dinamis itu.” Tambah Irwan dalam acara yang digelar di Ruang Abdullah Sigit yang dihadiri oleh Anggota Rapim UNY serta seluruh Dosen dan Tendik FIP UNY.

Dalam laporannya, Dekan FIP UNY, Dr. Haryanto, M.Pd. menyatakan bahwa tema “Pendidikan Bermakna dan Kebudayaan Konstruktivistik Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Tawar Peradaban Bangsa” sengaja diusung atas keprihatinan kita terhadap rendahnya daya tawar bangsa sebagai akibat dari penerapan sistem pendidikan yang kurang bermakna. Dalam era globalisasi sekarang ini, dunia adalah panggung sekaligus arena kontestasi peradaban bangsa-bangsa yang tiada hentinya. Ketika tidak ada satu pun negara yang bisa mengisolir diri, maka interaksi antarbangsa menjadi tidak terhindarkan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam setiap proses interaksi antarbangsa itu kemudian tampak jelas siapa yang aktif dan siapa yang pasif menawarkan peradaban material maupun non-material dalam bentuk ilmu pengetahuan. Semakin bangsa itu aktif dan progresif dalam menawarkan karya peradabannya, maka semakin tinggi daya tawarnya dalam percaturan dunia. Negara-negara Barat, Asia Timur seperti Jepang, Korea, Selatan, Taiwan, dan Singapura, serta kemudian menyusul China, harus diakui merekalah yang dalam satu abad belakangan ini mengendalikan dunia baik secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya.

Hal ini diamini pula oleh Rektor UNY, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. yang menyatakan bahwa daya saing bangsa ini memang sedang diuji. Terlebih pada lingkup internal UNY yang memang masih membutuhkan Doktor dan Guru Besar. Sutrisna mengedepankan pendidikan yang lebih terarah dengan mendorong para dosen untuk bisa mengambil jenjang yang lebih tinggi lagi. Sutrisna juga menekankan partisipasi para dosen dalam penulisan artikel yang terindex Google Scholar, EBSCO, Scopus maupun Thomson Reuters. Tak lupa Sutrisna juga menginginkan agar peringkat Webometric situs UNY bisa mendapatkan peringkat yang lebih baik lagi. (ant)